idul adha 1440 H
(tim al-fudhola graha prima)
Allahu akbar 3x Laa Ilaha illallah Allahu Akbar
Walillahilhamd
Pada setiap 10 Dzulhijjah, umat muslim dari seluruh penjuru
dunia, dari beragam suku, beraneka budaya, bermacam warna, pria maupun wanita,
berkumpul memenuhi panggilan Allah melaksanakan ibadah haji. Saat itu,
saudara-saudara kita berada di Mina, di Muzdalifah, melakukan wuquf di
Arafah seharian. Mereka datang ke tanah suci Mekah untuk memenuhi panggilan
Allah.
“Aku datang memenuhi panggilanMu, Ya Allah.
Aku datang memenuhi PanggilanMu. Tiada Sekutu bagiMu. Sesungguhnya segala
pujian, kenikmatan hanya milikMu, dan juga kerajaan. Tiada Sekutu bagiMu.”
Adapun umat
muslim lainnya yang tidak melaksanakan ibadah haji, ikut larut dalam meyambut
hari besar hari raya Idul Adha, hari raya qurban. Seluruh umat muslim turut
menggemakan kalimat takbir, kalimat tahmid sebagai wujud ketaatan dan pengakuan
seorang hamba akan kebesaran dan keagungan Allah SWT, Tuhan semesta alam raya.
Hari raya Idul
Adha atau hari raya qurban tidak dapat terlepas dari kisah
teladan yang digambarkan dalam Al-Qur’an melalui seorang yang mulia yaitu Nabi
Ibrahim AS yang mampu menjalankan perintah Allah SWT untuk mengorbankan anaknya
Nabi Ismail dengan cara menyembelihnya. Namun, pada akhirnya tanpa diduga,
Allah mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba yang gemuk. Sungguh sangat luar
biasa, ujian yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Dapat kita
bayangkan, seorang nabi pun mendapatkan ujian dari Allah SWT, apalagi kita
sebagai manusia biasa. Hal ini, menunjukkan bahwasanya keislaman, keimanan dan
ketakwaan kita akan terus diuji oleh Allah SWT untuk melihat di mana, pada
level apa dan kualitas apa kita berada.
Pada kali ini
hari raya Idul adha 1440 H. kita sebagai bangsa Indonesia sekaligus moment
memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74. Sebuah kemerdekaan yang tidak dicapai
dengan satu malam, namun butuh perjuangan selama bertahun-tahun, berpuluh-puluh
tahun dan beratus-ratus tahun lamanya. Perjuangan pada pendahulu dan pejuang
kita tersebut, tentu tanpa henti dan tak kenal lelah. Adapun pengorbanan para
pejuang kita juga tak terhitung dan tak ternilai. Mereka berkorban fikiran,
tenaga, waktu, anak, isteri, saudara, harta, bahkan jiwa raga turut
dikorbankan. Sehingga, dengan rahmat Allah SWT dan pengorbanan para pejuang,
Indonesia dapat meraih kemerdekaan.
Idul
Adha ini adalah pelajaran pengorbanan, pengorbanan yang dicontohkan
oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS dalam mengorbankan sesuatu yang paling
dicintai karena Allah Azza wa Jalla.
Namun,
bagi sebagian kita, mungkin berkorban adalah sesuatu yang tidak rasional, suatu
hal yang tidak logis. Bagaimana mungkin, kita memberi dan mengorbankan harta
kita yang telah kita raih dengan susah payah. Kok enak sekali, kita bekerja keras,
banting tulang, kemudian kita korbankan untuk orang lain. Inilah mungkin logika
banyak dimiliki manusia saat ini, maka pantaslah kita menyaksikan beragam
krisis terjadi. Bagi orang Muslim, mu’min, logika tersebut adalah logika yang
salah, Bagi orang Muslim, mu’min, logika yang benar adalah:
pertama:
“pemberi rizki adalah Allah SWT”
Allah
berfirman:
Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku
tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (Al-Dzariyat
56-58)
Jika
pemberi rizki satu-satunya adalah Allah, jika pemberi kemudahan satu-satunya
adalah Allah, maka jalan yang paling masuk akal untuk mendapatkan rezeki,
mendapatkan kemudahan adalah dengan meminta kepada-Nya, berharap kepada-Nya.
Maka
Allah berjanji, jika mau tambahan rizki dan kemudahan yang tidak dapat kamu
bayangkan, maka jalannya adalah ketakwaan yaitu jalan mengikuti
perintahNya, menjauhi laranganNya. Allah SWT berfirman.
Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
(Al-Thalaq 2-3).
Dan barang siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.(Al-Thalaq
4)
Kedua: orang
muslim, mu’min meyakini bahwa “kadar
rizki setiap orang sudah ditentukan”
Allah
SWT berfirman.
Dan Allah
melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki,
(An-Nahl 71)
Jika
kadar rizki sudah ditentukan berbeda-beda, maka apalah guna dengki hati, iri
hati, sakit hati kepada orang lain. Toh semua sudah diberi jatah terbaiknya
sesuai kadar keperluan dirinya, kadar keperluan keluarganya oleh Allah SWT.
Bukankah Allah Maha Mengetahui segala kebutuhan kita?
Kalau
rizki kita sudah dijamin dan ditentukan kadarnya oleh Allah, kenapa kita
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan rizki, kenapa kita sibuk-sibuk
menjerumuskan diri ke dalam pekerjaan yang dimurkai Allah. Sungguh sangat tidak
masuk dalam logika seorang muslim, takut kelaparan, takut kekurangan, takut
kekurangan karena meninggalkan pekerjaan yang haram, toh Allah sudah
menjaminnya, toh kadar rizki kita juga sudah ditentukan. Dan tentunya, jika
kadar rizki sudah dijamin dan ditentukan, kenapa kita enggan berkorban, karena
pengorbanan yang keluarkan, tidak akan mengurangi sedikitpun kadar rizki kita,
bahkan Allah berjanji akan menambahnya.
Ketiga:
walaupun sudah ditentukan kadar rizki, orang
muslim, mu’min faham betul bahwa “rizki harus dicari dan harus diusahakan”.
Allah
SWT berfirman:
Apabila telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (Al-Jum’ah
10)
Jika
pemberi rizki hanya Allah, kadar rizki sudah ditentukan dan kita diwajibkan
untuk berusaha mencarinya, maka yang ada bagi kita hanyalah berusaha keras,
bekerja keras, berfikir keras, berkarya besar. Pendek kata, yang perlu
difikirkan oleh seorang muslim adalah bagaimana berkorban semaksimal mungkin
karena Allah. Tidak perlu berfikir saya dapat apa? Dapat berapa? Toh hal itu
Allah yang mengatur untuknya. Dalam bahasa pondok (jawa): Bondo, Bahu, Pikir, yen Perlu sak nyawane pisan. Inilah bahasa
pengorbanan secara total, berkorban harta, tenaga, fikiran, kalau perlu
nyawapun dikorbankan, demi amanah dari Allah SWT.
Maka
dari itu, ciri seorang muslim adalah totalitas dalam menjalankan
amanah yang sedang diembankannya, baik sebagai pemimpin, sebagai
pendidik/pengajar, sebagai pegawai pemerintah maupun swasta, sebagai pedagang,
sebagai petani, bahkan sebagai buruh kecilpun, Seorang muslim akan selalu
berbuat total, berjuang dan berkorban. Bukan sebaliknya, mencari keuntungan
sendiri, mengorbankan orang lain, dan bahkan mendzalimi orang lain
untuk kepentingan diri sendiri. Hal ini tidak perlu bagi seorang muslim, karena
baginya, hanya Allah lah yang akan mencukupinya lahir batin, dunia dan akhirat.
Namun
demikian, ujian terhadap logika Islam ini akan selalu ada, ujian terhadap
pengorbanan yang kita lakukan, ujian terhadap keimanan dan ketakwaan kita,
bahkan ujian terhadap keikhlasan akan terus ada. Allah
dalam surat Yusuf mengabadikan nasehat Ya’kub kepada anak-anaknya
Jangan kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf 87)
Dalam
ayat lain Allah SWT berfirman:
Dan bagi mereka
yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik.
(Al-Ankabut: 69)
Lantas,
sudahkan kita mau dan siap berkorban untuk umat, untuk bangsa, untuk pondok,
dan untuk tempat yayasan anak yatim atau dhu’afa dengan lillahi ta’ala.
Berkorban fikiran, tenaga, harta dan perasaan. Kesiapan diri untuk berkorban
sangatlah ditentukan oleh idealisme, cita-cita dan orientasi hidup kita. Bila
hidup kita, kita niatkan untuk berjuang dan memperjuangkan agama Allah, maka
tidaklah akan terasa berat untuk berkorban. Ini adalah masalah keyakinan,
keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, besar atau kecil. Keyakinan bahwa
jika kita mau memikirkan orang lain, membantu orang lain, pasti Allah SWT akan
memikirkan dan membantu kita. Apalagi jika kita siap memperjuangkan agama
Allah, pastilah Allah akan menjamin hidup kita dan memperjuangkan urusan kita.
Inilah logika religi, logika Allah SWT.
Sebaliknya,
betapa akan terasa berat untuk melakukan hal-hal tersebut di atas, bila kita
menjadi manusia pragmatis (bermanfaat), individualis apalagi oportunis. Model
manusia seperti ini, yang dipikirkan hanyalah mencari keuntungan materi dan
keuntungan dirinya sendiri. Sikap hidupnya selalu berhitung untung rugi, kaya
miskin, apa yang didapatkan, bukan apa yang dipersembahkan. Inilah musuh
perjuangan, musuh pengorbanan. Karena sesungguhnya tidak ada orang yang kaya
karena pelit, dan miskin karena dermawan Pelit yang dimaksud tidaklah
terbatas pada pelit terhadap materi, tetapi pelit terhadap fikiran, tenaga dan
perasaan.
Semoga
kita semua termasuk orang-orang yang Istiqomah dalam berjuang,
berkorban dan berbuat baik di jalan Allah SWT. Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
by: tim al-fudhola GP
sumber: rangkuman dari berbagai narasi dan media kajian ta'lim agama Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar